Mengukir Mental Baja: Mengupas Pro-Kontra Penerapan Pembinaan Kemiliteran bagi Siswa SMA

Pembentukan mental baja di kalangan generasi muda menjadi isu hangat yang kembali diperdebatkan seiring wacana penerapan pembinaan kemiliteran bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Kebijakan ini, yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan kedisiplinan, patriotisme, dan ketahanan diri, justru menimbulkan pro-kontra yang signifikan di berbagai lapisan masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas serta dampak jangka panjang program semacam ini terhadap perkembangan psikologis dan akademik siswa.

Wacana pembinaan kemiliteran ini bukanlah hal baru. Pada tanggal 15 April 2025, dalam sebuah rapat kerja di Gedung DPR RI, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal TNI Gatot Subroto, sempat menyampaikan urgensi program ini. “Kami melihat kebutuhan mendesak untuk menanamkan jiwa korsa dan mental baja sejak dini. Ini bukan tentang mempersiapkan mereka untuk perang, melainkan membentuk karakter yang kuat dan tidak mudah menyerah,” ujarnya di hadapan Komisi I DPR RI. Rencananya, program percontohan akan dimulai pada semester genap tahun ajaran 2025/2026 di beberapa SMA di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Namun, gagasan ini langsung menuai kritik dari sejumlah akademisi dan praktisi pendidikan. Profesor Dr. Budi Santoso, seorang sosiolog pendidikan dari Universitas Indonesia, dalam seminar nasional “Pembentukan Karakter Bangsa” pada Sabtu, 3 Mei 2025, menyoroti bahwa pendekatan kemiliteran mungkin tidak selalu relevan dengan konteks pendidikan. “Meskipun disiplin itu penting, metode yang terlalu kaku bisa membatasi kreativitas dan kebebasan berekspresi siswa. Kita perlu meninjau apakah ini cara terbaik untuk membangun mental baja yang adaptif di era modern,” jelasnya. Di sisi lain, beberapa orang tua juga mengungkapkan kekhawatiran mereka. Ibu Siti Rahayu, seorang wali murid di Depok, menyatakan dalam sebuah forum diskusi daring pada Selasa, 6 Mei 2025, bahwa ia khawatir anaknya akan tertekan dan justru kehilangan motivasi belajar.

Meski demikian, tidak sedikit pula yang mendukung inisiatif ini. Mereka berargumen bahwa paparan terhadap pelatihan dasar militer dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, kepemimpinan, dan kemampuan bekerja sama dalam tim, kualitas yang sangat dibutuhkan di masa depan. Kolonel (Purn.) Wisnu Aji, seorang pengamat militer, dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi nasional pada Jumat, 9 Mei 2025, mengatakan, “Pembinaan ini akan mengajarkan arti pengorbanan dan cinta tanah air, yang merupakan fondasi penting bagi mental baja seorang warga negara.” Pendukung lainnya juga percaya bahwa program ini dapat mengatasi masalah kenakalan remaja dan kurangnya kedisiplinan yang kerap menjadi sorotan.

Pada akhirnya, keputusan mengenai penerapan pembinaan kemiliteran bagi siswa SMA harus melalui kajian mendalam dan komprehensif. Penting untuk menimbang semua aspek, mulai dari dampak psikologis, kesiapan infrastruktur sekolah, hingga kurikulum yang sesuai. Dialog lintas sektoral, melibatkan Kementerian Pendidikan, Kementerian Pertahanan, orang tua, siswa, dan psikolog, akan menjadi kunci untuk menemukan titik temu terbaik demi mencetak generasi muda yang memiliki mental baja serta siap menghadapi tantangan global dengan karakter yang kuat dan integritas tinggi.