Sistem pendidikan di Indonesia pada masa kolonial Belanda adalah cerminan kompleks dari kepentingan politik dan ekonomi penjajah. Pendidikan di Penjajahan saat itu tidak bertujuan untuk memajukan seluruh masyarakat pribumi secara merata, melainkan lebih sebagai instrumen untuk menciptakan hierarki sosial dan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan kolonial. Memahami struktur sekolah yang mereka bangun akan memberikan gambaran jelas tentang bagaimana pendidikan digunakan sebagai alat dominasi.
Pada awalnya, Belanda tidak terlalu tertarik untuk mengembangkan pendidikan bagi pribumi. Fokus utama mereka adalah eksploitasi sumber daya alam. Namun, seiring berjalannya waktu dan munculnya tekanan dari berbagai pihak, termasuk kelompok liberal di Belanda yang menyerukan Politik Etis (dimulai tahun 1901), pendidikan mulai diperkenalkan. Namun, implementasinya sangat diskriminatif. Sebagai contoh, ada sekolah-sekolah yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak Eropa, seperti Europeesche Lagere School (ELS), dengan fasilitas dan kualitas pengajaran yang jauh lebih baik. Ini menunjukkan bagaimana Pendidikan di Penjajahan sangat membedakan kasta.
Di bawah ELS, terdapat sekolah-sekolah untuk pribumi, yang kualitasnya berbeda-beda. Ada Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang setara ELS namun diperuntukkan bagi anak-anak bangsawan atau elit pribumi, yang diharapkan akan menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Lalu ada Hollandsch-Chineesche School (HCS) untuk anak-anak Tionghoa. Sementara itu, untuk rakyat jelata, Belanda mendirikan Volksschool (sekolah desa) dengan masa studi yang lebih singkat, biasanya hanya tiga tahun, dan kurikulum yang sangat terbatas pada membaca, menulis, dan berhitung dasar. Hal ini menggambarkan bagaimana Pendidikan di Penjajahan didesain untuk menciptakan kelas-kelas sosial.
Jenjang pendidikan menengah pun menunjukkan pola yang sama. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algemene Middelbare School (AMS) adalah sekolah lanjutan yang memiliki standar lebih tinggi, namun aksesnya sangat terbatas bagi pribumi, biasanya hanya mereka dari kalangan bangsawan atau yang telah lulus dari HIS. Tujuan utama dari jenjang ini adalah mencetak ambtenaar (pegawai) atau tenaga teknis yang diperlukan untuk menjalankan birokrasi dan perusahaan-perusahaan Belanda. Sebagai data pendukung, laporan dari Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid pada 17 Juli 1935 menunjukkan bahwa jumlah lulusan pribumi dari MULO dan AMS yang berhasil menduduki posisi strategis sangat sedikit, mayoritas hanya menempati posisi menengah ke bawah.
Struktur sekolah yang berlapis dan diskriminatif ini mencerminkan strategi Belanda untuk mengontrol masyarakat pribumi melalui pendidikan. Kurikulum yang diajarkan lebih berorientasi pada kebutuhan praktis penjajah, bukan pada pengembangan potensi bangsa secara utuh. Meskipun demikian, ironisnya, Pendidikan di Penjajahan inilah yang juga melahirkan kaum intelektual pribumi yang kemudian menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan, seperti para tokoh yang menggagas Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang sebagian besar adalah pelajar dari sekolah-sekolah kolonial. Mereka menggunakan pengetahuan yang diperoleh untuk mengobarkan semangat nasionalisme dan berjuang demi kemerdekaan.